Minggu, 20 Oktober 2019

Ketulusan Hati (Semesta Berkata)




Deru ponsel terus bergetar di atas meja kerja Budi yang tengah tertidur setengah jam yang lalu, bukan lain adalah chat whatsapp dari client nya di luar kota untuk menginvest ke perusahaan nya. Malam ini rapat terbuka dilaksanakan disalah satu mall ternama di Jakarta.

Tak lama... Suara dering telfon berbunyi , Budi terbangun. Diangkat telfon itu, anak kesayangannya rindu.

“papa kapan pulang? Hayukk kita beli eskrim bareng. Zahwa mau makan eskrim sama papa”

“sabar ya nak papa masih ada kerjaan lagi, sama mamah aja ya dulu. Nanti papa bawa pulang eskrim yang banyak. Kita makan sama-sama. Okey?”

“asikkkk.... makasi papa... Zahwa sayaang papapa. Dadah  paah. Assalamualaikum”

“iyaa nakk, papah juga sayang Zahwa.. waalaikumussalam” ditutup telfon itu sambil tersenyum. 

Namun, senyum itu hanya muncul sesaat setelah melihat jam pada layar ponselnya. sudah 19.35, ia gelisah. Tertera notif yang sedari tadi belum ia buka, berisi....
19.12 –  Pak Aldi (Client SG) : “Pak Budi, saya sudah sampai bandara. Tolong dipersiapkan semuanya, 15 menit lagi saya akan sampai ke resto tempat meeting kita dimulai”
19.25 – Pak Aldi (Client SG) : “Pak Budi saya sudah sampai di resto. Sesuai rencana , meja nomor 25. Saya tunggu 30 menit lagi”

Tanpa basa-basi, budi mencuci muka lalu mengambil jaz yang tergantung, lalu pergi menuju lokasi 9km dari posisinya sekarang. Melaju dengan kecepatan penuh, diseberang matanya lampu hijau perempatan itu terhitung mundur. Mengejar waktu, Budi menambah kecepatannya hingga tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari mengejar bola yang terlempar kejalan. Kaget setengah mati, diinjaknya pedal rem itu dengan kasar.

“Woi bocah , main bola jangan sampai ke jalan. Bahayaa” ujarnya berbicara melewati jendela mobilnya. “ah jadi lampu merah lagi kan. Mana lama banget lagi, sial”cetusnya. Dilihatnya anak laki-laki kecil itu menghampiri dua orang anak perempuan lainnya dengan speaker berukuran sedang menggantung di pundaknya.  Silih berganti Budi menatap jarum jam dan lampu merah. Terdengar samar-samar percakapan antara anak kecil dan kedua anak perempuan persis disamping mobilnya

“dekk, udah dong mainnya. Ayook pulang. Sudah malam... yukk” ajak salah satu anak perempuan 

“gak mauuu.. masih mau main bola. Kak Sari , ayuk main lagii”. “dek, dengerin kak Fia dong. Ayuk pulang kita cari obat untuk mamah sekalian beli makan” ujar Kak Sari. Ekspresi Arman seketika berubah, gelap bak awan hitam siap menerjunkan bala tentara hujannya. Arman mengerti, mamahnya sedang merindukannya, begitupun sebaliknya.

Hari itu pendapatan mereka tak banyak, keluar pagi pulang sore. Bertarung dengan terik matahari , buat mereka tak lupa diri. Bahwa hidup harus terus disyukuri bagaimanapun adanya. Mendengar percakapan mereka , angin rindu hangatnya kasih ibu berhembus kepadanya. Merasa Iba, Budi memanggil ketiga anak itu lalu menawarkan tumpangan untuk pulang menuju rumah mereka dan berniat membelikan obat untuk sang Ibu.

“Mari nak, ikut saya. Saya antar kalian kerumah, sekalian kita beli obat untuk ibu” ujar Budi menawarkan. “Tidak usah om, takut merepotkan” ujar Fia. “oohh tidak, sama sekali tidak. Mari ikut saya...” masuklah mereka kedalam mobil dengan penuh keheranan , dan menuju apotik untuk membeli obatnya.

“Sampai sini aja om , soalnya mobilnya ga bisa masuk. Maklum rumah kami kecil. Mari om..” ujar anak tertua. Mereka berjalan menyusuri rumah demi rumah kawasan kumuh. Dengan menggengam obat , Budi menoleh kanan kiri hiruk pikuk antah berantah dari mana asal suara nya bersaut-sautan. 

“mari om masuk, kita sudah sampai” “baiklah nak. Terimakasih”

Kedua adiknya berlari menghampiri sang ibu yang tengah terbaring lemas di atas kasur robek dan kotor, menangis dan memeluknya sembari berkata “maafkan kami ibu, kami baru bisa pulang... kami rindu ibuu”. Suasana berubah sedih seketika, tak terasa air mata Budi mengalir perlahan. “oh iya om, ini ibu kami.. ibu... ini om baik mau membelikan obat untuk ibu” “permisi ibu... saya Budi , semoga cepat sembuh bukk.. ini ada sedikit rezeki.. tolong di terima ya..” “terimakasih nak budi, ibu terima.. *uhukk uhuuk . maaf hehe”

Budi sedih... tatkala ia melihat ibu dari mereka teringat seorang yang paling berjasa dalam hidupnya slama ini, sudah meningggalkannya genap 5 tahun, ia lupakan. Dalam batinnya ia teriak sambil berdoa “ Yallah tolong luaskan kubur mamah, terangkan kuburnya, berikan ia tempat terbaik disisiMu”.  Entah kenapa, Budi tersadar lalu ikut mereka memeluk ibunya. Deru hujan menyerbu seng diatas rumah kayu lapuk itu temani kehangatan mereka yang mulai menyatu.


EmoticonEmoticon