Gerimis hujan basahi ibukota malam ini. Terlihat pria paruh
baya berharap pada atap halte bus di seberang sana melindunginya. Malam ini
juga dangannya belum habis. Sambil mengusap tetesan hujan yang sering kali
dibuat terbang oleh sang angin, ia termenung. Terbayang senyum manis si bungsu
yang berharap ia pulang secepatnya, membawakan robot-robotan keinginannya pagi
tadi.
Istri dan dua anaknya sudah lama pergi. Bukan dipanggil
sang illahi, namun pergi ketika ekonomi keluarga memaksa pria paruh baya itu
bekerja lebih keras lagi. Mereka tak peduli. Selalu saja ingin hidup mewah,
tega meninggalkan buah hati ( si bungsu) dan lelaki yang mencintainya sepenuh
hati. Hanya untuk lelaki yang lebih kaya darinya, apapun yang mereka pinta
langsung tersedia.
Malam semakin dingin, hujan semakin deras. Pria itu tak
kuasa lagi menahan angin malam yang mulai menggerogoti tubuhnya. Sambil memeluk
dinginnya malam, kepalanya menengadah tanganya merapatkan sela-sela jari seraya
berkata "Ya
Tuhanku, hanya kepadamulah aku berharap dan meminta pertolongan. Tolong
bantu hamba tuk habiskan dagangan ini sebelum gelap menjadi pekat agar bisa
pulang secepatnya melepas rindu bersama si bungsu anakku".
Tak lama kemudian, seorang anak muda berlari mendekati
halte dengan tas selempang sejengkal diatas kepalanya dan berhenti di
depan pria paruh baya itu.
"Pak, baksonya pedas satu porsi ya..." ucap
pemuda itu merebahkan tasnya lalu duduk tepat di sebelah kiri pria paruh baya
itu sambil menatap layar ponsel yang sedari tadi bergetar dalam saku celananya.
"Baik mas..." jawabnya dengan penuh senyum
sumringah, doanya terjabah.
"Sudah lama pak berjualan baksonya? Kalau saja
anak-anak kampus belum pada pulang saya bantu larisin dagangan bapak. Apalagi
suasana hujan maunya makan yang berkuah hangat pula" jemari pemuda itu
mematikan ponsel lalu mengambil semangkuk bola-bola daging yang ditemani kuah
kaldu sapi hangat.
"Baru mas, baru beberapa bulan setelah saya ditipu
oleh kerabat kerja saya sendiri" jawab pria itu menguatkan diri.
“Mohon bersabar ya pak.. itulah
salah satu sifat manusia, rakus akan
hal yang bersifat duniawi. Sampai lupa bahwa orang-orang sekitar jadi korban
atas kerakusannya itu" ujar pemuda itu menenagkan hati si bapak
penjual bakso itu.
" Ya begitulah mas. Kita
harus legowo dan selalu bersyukur atas apa yang terjadi. Mungkin ini adalah
ujian dari Tuhan untuk bapak" "kok jam segini baru pulang
mas? habis mengerjakan tugas kuliah yang tak berujung itu ya? haha" canda
pria paruh baya dengan suara seakan melawan derunya hujan yang turun beramai-ramai.
"hehe, enggak pak. Habis jalan sama pacar. Kebetulan
rumahnya dekat kampus sekalian mengantarnya pulang. Tadi sih baru gerimis,
namun tiba-tiba deras dan menjebak saya duduk disini bersama bapak" jelas
sang pemuda.
Sambil menyantap bakso, air matanya menetes ketika ia
menatap kearah sang bapak yang sesekali mengelap gerobak pikulnya. Pemuda itu
teringat akan sepuluh tahun silam, ketika sang ayahanda terbujur kaku di depan
mata sepulangnya ia dari kegiatan clubbing bersama teman-temannya saat fajar
menyingsing kala itu.
Tepukan di bahu pemuda itu menyadarkan lamunannya,
"hujan mulai mereda ,mas" kata bapak penjual bakso. Ia tersadar bahwa
hidup harus syukuri apapun adanya. "sudah pak, terima kasih" Kemudian
menyerahkan mangkuk dan beberapa uang lembar lalu pergi menjauh. Dalam hatinya
terucap ribuan terima kasih pada sang bapak yang telah memberikan pelajaran
hidup tuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun dan jangan menyia-nyiakan waktu
yang ada.

EmoticonEmoticon