Sabtu, 10 Agustus 2019

Syukur (Semesta Berkata)



Gerimis hujan basahi ibukota malam ini. Terlihat pria paruh baya berharap pada atap halte bus di seberang sana melindunginya. Malam ini juga dangannya belum habis. Sambil mengusap tetesan hujan yang sering kali dibuat terbang oleh sang angin, ia termenung. Terbayang senyum manis si bungsu yang berharap ia pulang secepatnya, membawakan robot-robotan keinginannya pagi tadi.

Istri dan dua anaknya sudah lama pergi. Bukan dipanggil sang illahi, namun pergi ketika ekonomi keluarga memaksa pria paruh baya itu bekerja lebih keras lagi. Mereka tak peduli. Selalu saja ingin hidup mewah, tega meninggalkan buah hati ( si bungsu) dan lelaki yang mencintainya sepenuh hati. Hanya untuk lelaki yang lebih kaya darinya, apapun yang mereka pinta langsung tersedia.

Malam semakin dingin, hujan semakin deras. Pria itu tak kuasa lagi menahan angin malam yang mulai menggerogoti tubuhnya. Sambil memeluk dinginnya malam, kepalanya menengadah tanganya merapatkan sela-sela jari seraya berkata "Ya Tuhanku, hanya kepadamulah aku berharap dan meminta pertolongan. Tolong bantu hamba tuk habiskan dagangan ini sebelum gelap menjadi pekat agar bisa pulang secepatnya melepas rindu bersama si bungsu anakku".

Tak lama kemudian, seorang anak muda berlari mendekati halte dengan tas selempang  sejengkal diatas kepalanya dan berhenti di depan pria paruh baya itu.

"Pak, baksonya pedas satu porsi ya..." ucap pemuda itu merebahkan tasnya lalu duduk tepat di sebelah kiri pria paruh baya itu sambil menatap layar ponsel yang sedari tadi bergetar dalam saku celananya.

"Baik mas..." jawabnya dengan penuh senyum sumringah, doanya terjabah.

"Sudah lama pak berjualan baksonya?  Kalau saja anak-anak kampus belum pada pulang saya bantu larisin dagangan bapak. Apalagi suasana hujan maunya makan yang berkuah hangat pula" jemari pemuda itu mematikan ponsel lalu mengambil semangkuk bola-bola daging yang ditemani kuah kaldu sapi hangat.

"Baru mas, baru beberapa bulan setelah saya ditipu oleh kerabat kerja saya sendiri" jawab pria itu menguatkan diri.

“Mohon bersabar ya pak.. itulah salah satu sifat manusia, rakus akan hal yang bersifat duniawi. Sampai lupa bahwa orang-orang sekitar jadi korban atas kerakusannya itu" ujar pemuda itu menenagkan hati si bapak penjual bakso itu.

" Ya begitulah mas. Kita harus legowo dan selalu bersyukur atas apa yang terjadi. Mungkin ini adalah ujian dari Tuhan untuk bapak" "kok jam segini baru pulang mas? habis mengerjakan tugas kuliah yang tak berujung itu ya? haha" canda pria paruh baya  dengan suara seakan melawan derunya hujan yang turun beramai-ramai.

"hehe, enggak pak. Habis jalan sama pacar. Kebetulan rumahnya dekat kampus sekalian mengantarnya pulang. Tadi sih baru gerimis, namun tiba-tiba deras dan menjebak saya duduk disini bersama bapak" jelas sang pemuda.

Sambil menyantap bakso, air matanya menetes ketika ia menatap kearah sang bapak yang sesekali mengelap gerobak pikulnya. Pemuda itu teringat akan sepuluh tahun silam, ketika sang ayahanda terbujur kaku di depan mata sepulangnya ia dari kegiatan clubbing bersama teman-temannya saat fajar menyingsing kala itu.

Tepukan di bahu pemuda itu menyadarkan lamunannya, "hujan mulai mereda ,mas" kata bapak penjual bakso. Ia tersadar bahwa hidup harus syukuri apapun adanya. "sudah pak, terima kasih" Kemudian menyerahkan mangkuk dan beberapa uang lembar lalu pergi menjauh. Dalam hatinya terucap ribuan terima kasih pada sang bapak yang telah memberikan pelajaran hidup tuk selalu bersyukur dalam keadaan apapun dan jangan menyia-nyiakan waktu yang ada.


EmoticonEmoticon